Comments Off

Revolusi Mental , Perlukah?


.

                 Istilah “Revolusi Mental” bukanlah barang baru dan bukan karya orisinil baik Romo Benny maupun Jokowi. Kedua tokoh masyarakat dan salah satunya adalah calon presiden hanya menggemakan dan menghidupkan kembali istilah dan roh di dalam istilah yang pernah dikemukakan oleh Presiden Soekarno.
                  Pada tanggal 17 Agustus 1962 silam, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pada Hari Proklamasi dengan tema, “Tahun Kemenangan”. Pada saat itulah muncul pernyataan “revolusi belum selesai” dan “revolusi mental”. Saya kutipkan pidato tersebut sbb:
Kita juga dapat menamakan tahun 1949-1950 satu Tahun Kemenangan. Kita juga tidak dapat menyangkalnya dan tidak seorangpun mau menyangkalnya. Akan tetapi dapat segera saya tambahkan di sini, bahwa kemenangan tahun 1949 itu adalah satu kemenangan dari Revolusi phisik semata-mata, dan satu kemenangan yang kita peroleh dengan babak-belur, dédél-duwél, babak-bundas.


              Beberapa saat yang lalu istilah ini sangat sering kita dengar, dan melekat pada jargon Jokowi. Sebagai sebuah jargon, maka biasanya tidak disertai penjelasan lebih detail, apa sebenarnya maksud dari revolusi mental. Secara istilah, ada dua kata yang membutuhkan penjelasan, yaitu revolusi dan mental.
               Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), revolusi adalah perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang, sedangkan mental adalah bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan dan tenaga.
            Dengan demikian dapat ditarik benang merah dari istilah ini bahwa revolusi mental menyangkut keadaan kejiwaaan, roh, spiritual dan nilai-nilai (vested interest) yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang dalam sebuah ruang lingkup kecil atau bahkan dalam sebuah Negara. 


                Jokowi memulai jawabannya dengan menyebutkan tentang sebuah keharusan. Menurut dia, revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Indonesia, sebut Jokowi, merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Dia mengatakan, karakter tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera.

                "Tapi saya juga ndak tahu kenapa, sedikit demi sedikit (karakter) itu berubah dan kita ndak sadar. Yang lebih parah lagi ndak ada yang nge-rem. Yang seperti itulah yang merusak mental," ujar Jokowi.

                 Perubahan karakter bangsa tersebut, kata Jokowi, merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. 
"Oleh sebab itu, saya menawarkan ada sebuah revolusi mental," ujar Jokowi 




           Inilah sejatinya masalah yang harus direvolusi kalau memang ingin memakai istilah itu, darimana memulainya, tentunya dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Keluarga yang terdidik lah yang bisa melakukan perubahan pada masyarakat. Lalu apa makna pendidikan bagi revolusi mental, dapat disimak dari pengertian pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. 
          Sedangkan menurut H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.

Daftar Pustaka:
http://business-center.hapsa-studia.com/opini/politik-di-indonesia/mengartikan-revolusi-mental/
https://www.jagita.com/news/2014/10/revolusi-mental-melalui-pendidikan
http://nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/Jokowi.dan.Arti.Revolusi.Mental.

Comments are closed.